Koran Suara Merdeka (Minggu, 15/4/12, hal.2)
Bincang-bincang Joseph Kristiadi:
"Rakyat Harus Memproduksi Pemimpin"
SAAT
ini muncul penilaian, kepemimpinan nasional tersandera banyak kekuatan
sarat kepentingan sehingga pemerintahan tak berjalan efektif. Semua
diselesaikan dengan cara “dagang sapi”. Keadaan itu justru terjadi pada
era demokratis. Untuk menguak permasalahan itu, berikut bincang-bincang
Rakyat Medeka dengan Dr Joseph Kristiadi dari Center for Strategic and
International Studies (SCIS) Jakarta.
Mengapa itu terjadi?
Proses demokrasi masih berjalan. Namun kebelumsuksesan demokrasi, dalam arti sukses menyentuh esensi, jangan membuat kita berpikir ke belakang dengan menyatakan, mengapa tak dikembalikan ke zaman dulu ketika negara punya power luar biasa untuk mengatur rakyat.
Semua berjalan efektif, situasi stabil. Kita jangan pernah lupa pada era lalu terjadi kekuasaan yang memonopli segala, termasuk monopoli kebenaran, tak boleh ada perbedaan dan kritik. Semua yang berani berbeda dan mengkritik dianggap kriminal, dicap subversif. Kita sudahi saja masa itu, jangan kita ulang atau bangkitkan lagi.
Novelis terkenal asal Ceko, Milan Kundera, mengatakan, “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting, perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.“ Jangan kita lupakan masa lalu yang kelam itu.
Mengapa pemimpin saat ini tak begitu powerfull, ya demokrasi sebenarnya memang membatasi pemimpin agar tak absolut. Jadi pemimpin era ini tak bisa disamakan lagi dengan era sebelumnya. Selain itu, kita kini juga mengalami perubahan budaya.
Perubahan budaya seperti apa?
Dalam budaya kita, termasuk budaya Jawa, pemimpin ibaratnya mendapat wahyu Tuhan untuk memimpin. Tanpa wahyu sehebat apa pun, dia tidak bisa berkuasa. Wahyu juga bisa diartikan garis keturunan. Tanpa garis keturunan raja atau pemimpin, seseorang tak bisa jadi pemimpin. Jadi muncul mitos-mitos pada diri pemimpin.
Saat ini mitos-mitos itu sirna, tak ada lagi mitos ratu adil dan sebagainya. Karena masyarakat menilai pemimpin adalah orang biasa yang terpilih berdasar mood masyarakat saat pemilu untuk menjawab kebutuhan, keinginan saat itu. Mood masyarakat bisa dibentuk elite politik dengan pencitraan, dengan perjuangan keras, juga karya nyata.
Ada yang berkemampuan biasabiasa saja, tapi mood masyarakat bisa mengarah ke dia. Jadi sak-mood-e bae. Tertarik pengusaha sukses, ya milih pengusaha sebagai pemimpin. Tertarik birokrat, ya milih birokrat. Tertarik artis, ya milih artis. Tokoh muda, ya milihlah dia. Juga tak ada yang melarang mencalonkan tokoh yang tak berpengalaman politik sedikit pun.
Itu kan perubahan budaya yang sangat signifikan. Memang ada yang saat menjabat menunjukkan kualitas, namun kita tahu banyak yang korup dan mismanajemen. Namun apa pun moodrakyat saat itu, mereka pasti punya standar minimal.
Apa standar minimalnya?
Pemimpin itu harus punya pandangan tegas dan jelas, mau membawa bangsa ini ke mana. Kalau itu tak punya, pasti serba-abu-abu. Kalau itu jelas, dia dapat merumuskan tahapan untuk mencapai. Dia boleh berasal dari birokrat, purnawirawan TNI, pengusaha, artis. Tapi semua harus punya standar minimal itu.
Di sinilah perlu kontrol terhadap pemimpin. Itulah kaitan antara masyarakat yang memilih pemimpin dan masyarakat harus memberikan masukan, kritik sebagai kontrol. Bila sistem tidak demokratis, ya mekanisme kontrol tidak berjalan. Mengkritik bisa langsung dipidana. Kebenaran hanya milik pemerintah.
Namun bila sistem demokratis pun apa artinya bila kritik tidak ditanggapi. Kritik, saran, dan masukan rakyat tak membuat dia berubah ke arah lebih baik. Jadi yang perlu kita lakukan bersama adalah membuat sistem yang menjadikan pemimpin bisa membawa rakyat ke arah lebih baik.
Seperti apa sistem itu?
Sistem itu harus bisa memberikan hak kepada rakyat melalui diri sendiri atau wakilnya di parlemen untuk memberi tahu sampai mengkritik pemimpin. Tentu itu juga tergantung pada budaya negara masing-masing. Kalau rakyat sudah memberi tahu, memberi saran, masukan, sampai kritik tidak mempan, ya kita sabar sampai pemilihan berikutnya kita hukum dengan tak memilih pemimpin dan partai pendukungnya. Lalu, kita ganti orang lain sambil berharap yang baru lebih baik. Sistem itu juga menjunjung supremasi hukum. Jadi bila pemimpin melanggar hukum, dia tak berada lebih tinggi daripada hukum sehingga dengan kekuatan politiknya menindas hukum.
Yang harus ada dalam sistem itu adalah memberikan kesempatan pada rakyat untuk memproduksi pemimpin. Rakyat harus memproduksi pemimpin melalui berbagai cara, antara lain melalui partai. Partai harus menjadi institusi yang memberikan pendidikan politik bagi rakyat dan bagi kader.
Bagaimana pendidikan politik partai saat ini? Berhasilkah mendidik dan mengader?
Saya belum pernah menyaksikan pengaderan partai yang memuaskan, kecuali di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Itu mungkin subyektif, tetapi memang seperti itu. Partai-partai saat ini tak begitu serius merekrut dan menyeleksi anak muda yang berminat berpolitik. Akibatnya, saat hendak pemilu mau mencalonbkan siapa masih bingung. Akhirnya merekrut tokoh dari luar yang punya karisma, daya jual tinggi, punya dana, demi mendapat suara.
Saya melihat PKS merekrut orang muda dan mengader dengan baik sehingga punya value, mendalami betul ideologi dan cita-cita partai dan siap memperjuangkan cita-cita itu karena begitu yakin. Cita-cita partai umumnya, bagaimana rakyat makin sejahtera, makin tak terbebani pungutan resmi dan liar yang memberatkan, bagaimana peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan di negeri ini, juga swasembada pangan.
Dalam pengaderan itu bukan hanya dikuliahi, diceramahi, serta beraktivitas sosial di masyarakat. Itu hal sekunder. Hal primer adalah bagaimana para kader mempunyai kesadaran tinggi bahwa mereka calon pemimpin yang akan mendapat amanah besar, yaitu negara dan bangsa ini. Mampulah berbuat terbaik bagi bangsa ini. Mari tingkatkan kemampuan, mengader diri.
Itu harus ditanamkan secara serius. Juga ada seleksi khusus untuk menyaring orang-orang berkualitas. Memang itu kerja keras. Bukan kerja instan. Tak hanya partai, organisasi kemasyarakatan juga bisa melakukan. Tapi partai memang perlu melakukan karena jadi pemasok atau penentu orang yang diarahkan ke parlemen, kabinet, serta pemerintahan.
Saat ini pengaderan hanya formalitas; kegiatan selesai, ya selesailah. Juga sekarang makin sedikit orang partai yang rela mati mengurus, mengader, menghidupkan partai. Kini bahkan menjadikan partai batu loncatan. Setelah itu, partai kapiran ditinggalkan.
Bagaimana dengan penilaian, saat ini kita miskin sikap kenegarawanan?
Orang muda yang saat ini di tampuk kepimpinanan sepertinya sudah terlalu jauh dari sejarah para negarawan. Kita sudah jauh dari sejarah Natsir, sejarah IJ Kasimo, dan founding fathers. Mereka saat sidang berdebat dengan gigih berdasar ideologi masing-masing, tetapi tetap menjalin hubungan harmonis, penuh nurani, kaya spiritual sebagai sesama manusia. Bisa berangkulan dan pulang bareng.
Sejarah tak pernah mengajarkan betapa penting nilai-nilai seperti itu dengan benar. Sejarah diubah untuk menonjolkan pihak tertentu dan seakan menenggelamkan nilai-nilai para negarawan pada masa lalu. Pemaknaan terhadap sejarah sangat dangkal.
Hingga kini yang muncul adalah pokoknya bisa memenuhi hasrat berkuasa, merebut kekuasaan, dengan segala cara, dengan dagang sapi, politik uang, dan melupakan perjuangan untuk kepentingan rakyat. Dengan kekuasaan bisa dengan mudah mencuri uang negara, dengan kekuasaan bisa menyandera hukum, sehingga banyak orang bermasalah dengan hukum, ingin menyelamatkan diri dengan masuk partai. Masuk partai ya dengan transaksi. Jadi ya tidak keruan seperti ini.
Itu semua rangkaian proses yang mendangkalkan demokrasi kita. Jadi bukan demokrasi sebenarnya, melainkan tak lebih transaksi para elite yang ingin mengeruk keuntungan dengan berkuasa. Ibaratnya jadi dangkal seperti pasar. Celakanya, kemerosotan sikap kenegarawanan, kejujuran, etos kerja yang sangat memalukan juga terjadi pada kehidupan riil di masyarakat. []
*sumber SUARA MERDEKA (15/4/2012) hal. 2
0 komentar:
Post a Comment