Hidayat Nur Wahid, Pelopor Hidup Bersih dan Jujur
Kehausan masyarakat akan hadirnya tokoh yang bersih dan bersahaja itu
akhirnya terpenuhi. Tampilnya Hidayat Nur Wahid sebagai ketua MPR pada
13 Oktober 2004 lalu, bak oase yang menghapus rasa dahaga masyarakat.
Betapa tidak, hanya lima hari setelah menjabat ketua MPR, mantan
presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu langsung menggagas
kesepakatan yang layak menjadi teladan bagi pejabat tinggi lainnya.
Bersama pimpinan MPR lainnya, Hidayat menolak mobil dinas Volvo yang
dianggap sebagai lambang kemewahan.
Tak hanya itu. Pimpinan MPR juga menolak tinggal di kamar mewah Hotel
Mulia Jakarta --dengan tarif sekitar Rp 5 juta per malam-- selama sidang
MPR 18-20 Oktober 2004. Mereka akhirnya ditempatkan di kamar standar
dengan tarif Rp 1,5 juta per malam. Hidayat bahkan sempat menginap di
kantornya ketika jadwal sidang amat padat.
Dibanding pejabat tinggi lain, kekayaan Hidayat jauh di bawahnya. Saat
awal menjabat ketua MPR, total harta kekayaan Hidayat sekitar Rp 233,269
juta dan 15.000 dolar AS. Jumlah yang boleh dibilang 'sangat sedikit'
dibanding pejabat tinggi lainnya. a juga meninggalkan posisinya sebagai
presiden partai, begitu terpilih sebagai ketua MPR. Suatu contoh baru
dalam alam politik di tanah air. "Saya kira, perangkapan jabatan itu
juga merupakan penyalahgunaan jabatan," kilahnya.
Cerita seputar kesahajaan dan keteladanan pria kelahiran Klaten, Jateng,
8 April 1960 itu masih berlanjut. Ayah empat anak dari pernikahannya
dengan Kastrian Indriawati tersebut sempat menolak uang dinas untuk tiga
hari kerja ke Makassar karena faktanya dia hanya sehari berada di sana.
Jika ada undangan dari partainya untuk berkunjung ke daerah, Hidayat
selalu menolak beragam fasilitas --termasuk kamar hotel mewah-- dari
pemda setempat.
Suatu saat, Hidayat pernah marah terhadap kader PKS di Padang. Kala itu,
Hidayat hadir di sana atas undangan partainya. Dia merasa aneh ketika
ditempatkan di kamar mewah Hotel Bumi Minang. Setelah dijelaskan, bahwa
biaya hotel ditanggung pemda setempat, Hidayat tak mau. Dia bersikeras
membayar sewa kamar sendiri dan tak hendak membebani pemda.
Kunjungan ke daerah atas nama partai pun selalu menggunakan kursi
pesawat kelas ekonomi, sesuai kemampuan pihak yang mengundang. Dia tak
akan bergeser dari tempat duduk, sekalipun pramugari menyilakannya
berpindah ke kelas bisnis atau eksekutif.
Lulusan Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo itu memang selalu
memberi contoh konkret. Saat badai tsunami menerjang Nanggroe Aceh
Darussalam pada 26 Desember 2004, dia ikut turun langsung ke lokasi
musibah. Bukan sekadar meninjau, Hidayat ikut membantu untuk mengangkat
mayat-mayat yang berserakan. Bersama kader partainya, ia pun melakukan
shalat jenazah di lokasi terjadinya musibah.
Hidayat yang lulus S1, S2, dan S3 dari Universitas Islam Madinah, Arab
Saudi itu lahir dari keluarga sederhana. Ayah dan ibunya adalah seorang
guru. Karena itu, jiwa pendidik yang senantiasa memberi contoh akan
selalu dipegangnya. "Anda tak mungkin menuntut komitmen orang lain kalau
Anda sendiri tak memiliki komitmen," tutur anak dari Muhammad Syukri
dan Siti Rahayu tersebut.
Dia pun berpendapat, asal ada komitmen kuat dari para pengambil
keputusan, maka tak terlalu sulit untuk melawan korupsi. Menurut dia,
korupsi hampir selalu terkait dengan kekuasaan. "Sedangkan kekuasaan itu
ada di tangan pengambil keputusan. Ini ibarat mata air. Kalau mata
airnya jernih, maka aliran air yang ke bawah juga akan ikut jernih,"
paparnya.
Sikap empatik, tak bermewah-mewah, dan hidup secukupnya (efisien)
menjadi prinsip moral yang dipegangnya. "Saya sejak dulu punya prinsip
qana'ah (merasa cukup dengan apa yang ada)," jelasnya. Prinsip ini
dianggapnya sebagai cara ampuh menghindari godaan korupsi.
Dua hal yang ditakuti penggemar bulu tangkis itu adalah jika tak mampu
menjaga istikamah (konsistensi) maupun memegang amanah (kepercayaan).
Baginya, orang yang tak konsisten tidak akan mungkin mampu menjalankan
tanggung jawab dengan baik. Di mata pengamat hukum perbankan Pradjoto,
Hidayat dianggap tokoh yang luar biasa. "Semoga komitmennya bisa menular
pada tokoh lainnya," kata Pradjoto ketika itu.
Sedangkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution, merasa amat
terkesan terhadap sikap Hidayat. "Gerakan moralnya untuk memberantas
korupsi dengan pola hidup sederhana perlu dijadikan contoh," paparnya
beberapa waktu lalu.
Di saat kondisi bangsa masih carut-marut seperti ini, 'virus' yang
dibawa oleh Hidayat amatlah diperlukan. Apalagi, 'virus hidup bersih'
itu dihembuskan oleh seorang petinggi negara. Tentu saja gaungnya
diharapkan bisa menggema ke seluruh penjuru negeri agar makin banyak
melahirkan Hidayat-Hidayat yang lain.[]
*Sumber : www.republika.co.id