Tiga Fakta di Balik Kepergian Uje


Bukan kematian benar menusuk kalbu


Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
Ketika kematian dipahami sebagai misteri, sesungguhnya misteri itu kembali pada kita. Misteri itu hadir karena kita teramat asing menatap kematian. Situasi ketika ajal merambat dari ujung kaki hingga melewati tenggorokan dan tiba di ubun-ubun kepala, lalu dengan amat sangat pasti meninggalkan jasad — maut hadir begitu nyata. Bagi sang pelaku kematian, maut hadir dengan wajah aslinya.
Ustadz Jefri Al Buchori menatap perjalanan maut dengan amat nyata. Pesan terakhir di Twitter sebelum Uje pergi untuk kembali adalah puncak keemasan dakwah yang dia sampaikan. Pada saat itu Uje berada dalam gelombang Al-Haq, gelombang kebenaran,
yang siapapun mustahil sanggup menghalanginya. Orang Jawa mengatakan, gak seblahine dhewe, bukan atas kehendak dirinya.
Kita amat mencintai Uje sebagaimana Uje juga mencintai kita. Saya mencatat sedikitnya ada tiga fakta di balik kematian Uje. Fakta-fakta berikut ini merupakan ekspresi cinta saya menangkap sinyal-sinyal hikmah di balik kepergian Sang Dai.
Pertama, Uje meninggal bukan karena kecelakaan. Kita orang awam kerap menyandingkan peristiwa tertentu sebagai sebab kematian. Apabila kecelakaan adalah penyebab matinya seseorang, maka setiap orang yang mengalami kecelakaan pasti mati. Kecelakaan, sakit yang sangat parah, atau kondisi apapun yang ‘menghantarkan’ seseorang mati bukanlah sebab. Sebab kematian hanya satu: ajal sudah datang. Adapun kecelakaan maut atau sakit parah merupakan kondisi ataukeadaan ketika maut datang menjemput.
Kedua, menjelang ajal pesan-pesan Uje menggetarkan kita. Ustaz Solmed mengaku dirinya merasakan perasaan aneh seperti Uje akan pergi ke tempat yang jauh. Dia merasa Ustaz Uje akan meninggalkannya untuk selama-lamanya. “Lanjutkan dakwah saya, ya,” ujar Solmed menirukan pesan terakhir dari almarhum Ustaz Uje (Republika Online, 26/4/2013).
Uje sedang diterpa cahaya. Situasi ketika itu dirinya sudah bukan dirinya lagi. Ia sedang tenggelam di lautan fana. Dirinya yang dulu sudah mati. Sebelum mengalami kematian hakiki, Uje memasuki kematian maknawi. Apa itu kematian maknawi? Ketika seseorang tiba di puncak kesadaran universal: status sosial budaya kemanusiaannya luruh. Ia bukan dai, bukan penggemar moge, bukan selebritis, bukan ayah dari empat anaknya. Ia tiba di puncak kesadaran maknawi: ia adalah hambaTuhan.
Ketiga, ketika Uje atau seseorang menyadari bahwa dirinya adalah hamba Tuhan, maka ia akan menemukan orang lain juga sebagai hamba Tuhan. Dengan demikian hubungan Uje dengan sesama menjadi satu, utuh, sama-sama sebagai hamba. Kasih sayang kepada sesama menjadi sikap dominan yang menghiasi perilaku dan tutur katanya. Ia berakhlak seperti akhlak Tuhan yang mengasihi dan menyayangi semua makhluk-Nya.
Uje dicintai begitu banyak kalangan karena ia menyayangi semua. Ketika berhadapan dengan Tuhan dalam doa-doanya, Uje menyampaikan ‘aspirasi’ sahabat dan mereka yang dicintai. Ketika berhadapan dengan sesama, Uje menyampaikan pesan-pesan Tuhan.
Inilah setetes fakta di tengah samudera ilmu Tuhan di balik kepergian Ustadz Jefri Al-Buchori. Masih ada sesamudera lagi ilmu Tuhan yang dapat kita reguk di balik setiap kematian siapapun.
Bahkan hingga ajal menjemput Ustadz Jefri masih menitipkan mutiara dakwahnya untuk kita. []
Pong Sahi
d

0 komentar:

Post a Comment