Dua orang lelaki singgah di sebuah kedai kopi di pinggir jalan yang mereka lalui. Rasa haus dan lapar membuat mereka sejenak menghentikan perjalanan untuk sekedar istirahat dan sekaligus menyantap makanan ringan serta kopi panas di kedai tersebut.
Kedai kopi itu sepi saja, tak ada pengunjung lainnya. Hanya mereka berdua yang datang pada saat itu. Segera mereka mendekat ke counter tempat pemesanan. Namun penjaga kedai tampak sangat cuek dan tidak mempedulikan kehadiran dua tamunya. Si penjaga asyik dengan urusannya sendiri dan sama sekali tidak menyapa kepada dua lelaki yang datang.
“Kopi hitam dua bang, tanpa gula”, kata lelaki pertama memesan minuman.
Penjaga kedai tidak menjawab apapun. Wajahnya cemberut. Ia masih tampak asyik mengerjakan urusannya sendiri tanpa peduli pesanan pembeli.
Merasa lama tidak segera dilayani, lelaki pertama kembali mengulang pesanannya.
“Maaf bang, bisa dibuatkan dua gelas kopi hitam tanpa gula ?”
Sambil bersungut-sungut akhirnya penjaga kedai mulai melayani pesanan tersebut. Tanpa berkata-kata, dan tanpa menunjukkan sikap yang ramah kepada kedua tamunya.
Lelaki kedua tampak emosi. Ia merasa marah melihat perlakuan penjaga kedai tersebut. Ia tidak terima mendapat perlakuan yang tidak sopan seperti itu.
“Ayo kita pergi saja dari tempat ini. Masih banyak kedai kopi lainnya di sepanjang jalan ini. Kita sama sekali tidak dihargai”, kata lelaki kedua kepada temannya.
“Sabarlah sebentar. Kau lihat ia sedang mengerjakan pesanan kita. Nanti juga selesai pesanan kita. Ayo kita ambil tempat duduk”, jawab lelaki pertama kalem, sambil menuju kursi tempat duduk yang telah disediakan.
“Tapi penjaga itu sangat tidak sopan. Harusnya ia menghargai dan menghormati kita sebagai pembeli. Kamu terlalu baik kepada penjaga itu”, bantah lelaki kedua dengan ketus dan nada tinggi.
Beberapa saat kemudian dua gelas kopi hitam telah selesai dibuat dan dihidangkan. Lagi-lagi, penjaga kedai menghidangkan kopi ke meja kedua tamunya itu tanpa keramahan sama sekali. Wajahnya masih tampak cemberut dan tidak ada satu kalimatpun keluar dari bibirnya.
“Terimakasih telah membuatkan kopi. Ada pisang goreng keju ?” kata lelaki pertama.
Penjaga kedai hanya mengangguk kecil.
“Saya minta dua porsi pisang goreng keju”, lelaki pertama melanjutkan.
Penjaga kedai itu kembali ke posisi kerjanya, membuatkan pisang goreng keju. Lelaki kedua bertambah kesal dan jengkel atas sikap penjaga kedai itu.
“Aku heran, mengapa engkau mau berkata dan bersikap sopan seperti itu kepada penjaga kedai yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun. Kalau aku mending pergi mencari kedai lain yang penjaganya lebih sopan dan mau menghargai tamu. Terus terang aku tersinggung dengan sikapnya yang tidak memiliki penghormatan”, kata lelaki kedua, masih dengan emosi.
“Jika begitu, engkau sama saja dengan penjaga kedai itu,” jawab lelaki pertama kalem.
“Tapi mengapa engkau bersikap sopan kepada dia, sedangkan dia tidak bersikap sopan kepada kita?” bantah lelaki kedua.
“Mengapa aku membiarkan dia mengatur sikapku ? Perkara dia bersikap tidak sopan dan tidak menghormati, itu urusan dia sendiri. Namun aku memiliki sikap sendiri yang tidak tergantung dari sikap orang lain”, jawab lelaki pertama.
“Kalau kita marah dan emosi melihat sikap dia kepada kita, berarti sikap kita diatur oleh penjaga kedai itu. Artinya sikap hidup kita telah diatur oleh orang lain, bukan oleh diri kita sendiri. Padahal kitalah yang harus menentukan sikap kita sendiri, karena kita yang harus mempertanggungjawabkan setiap sikap dan tindakan yang kita lakukan”, jawab lelaki pertama.
Tentukan sendiri sikap anda. Mengapa menunggu orang lain berbuat baik kepada kita, baru kita mau berbuat baik kepada orang lain ? Mengapa menunggu orang lain menghormati kita, baru kita mau menghormati orang lain ? Mengapa menunggu orang lain bersikap sopan kepada kita, baru kita mau bersikap sopan kepada orang lain ? Padahal kalaupun orang lain kurang ajar kepada anda, itu urusan dia sendiri yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan manusia dan di hadapan Tuhan.
Anda adalah pemilik otoritas atas sikap hidup yang harus anda ambil, bukan orang lain. Karena kita yang harus mempertanggungjawabkan semua sikap dan perbuatan kita sendiri, bukan orang lain. Maka, berbuat baiklah, tanpa harus menunggu orang lain berbuat baik kepada kita. Bersikap ramahlah, tanpa harus menunggu orang lain ramah kepada kita. Berlaku sopanlah, tanpa menunggu orang lain sopan kepada kita. Minta maaflah, tanpa menunggu orang lain meminta maaf kepada kita. Maafkanlah, tanpa menunggu orang lain memaafkan kita.
Jaga diri anda, jangan sampai perbuatan buruk orang lain mempengaruhi diri anda. Karena ada orang bersikap kasar kepada anda, tiba-tiba anda bertindak lebih kasar lagi kepada dia. Karena ada orang marah kepada anda, tiba-tiba anda lebih marah lagi kepada dia. Karena ada orang pelit kepada anda, tiba-tiba anda lebih pelit lagi kepada dia. Anda telah dipengaruhi dan diatur oleh sikap orang lain. Sikap anda reaktif menunggu apa sikap orang kepada diri anda, baru anda mengikuti atau membalasnya. Anda tidak boleh kalah oleh keburukan orang, anda harus menjadi diri anda sendiri.
“Maka tentukan sikap yang jelas. Karena kita adalah penentu sikap hidup kita sendiri. Jangan sampai orang lain mengatur sikap hidup kita sehari-hari”, kata lelaki pertama, santai sekali.
Tak berapa lama, pesanan pisang goreng keju pun dihidangkan. Penjaga kedainya tetap yang tadi. Wajahnya cemberut, tidak menunjukkan sikap ramah sama sekali. Ia menaruh dua piring pisang goreng keju di atas meja kedua tamunya, dan segera berlalu. Tanpa satu kalimatpun diucapkan, tanpa sedikitpun senyuman.
“Terimakasih telah membuatkan pisang goreng keju”, kata lelaki pertama.
Lelaki kedua menghela nafas panjang…….
Panjang sekali !
Pancoran Barat, 6 Mei 2011
Oleh : Cahyadi Takariawan
Posted By : PKS Leuwiliang
0 komentar:
Post a Comment